Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres)
No. 32/2011 tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) menandai babak baru
bagi pembangunan ekonomi pasca reformasi di Indonesia. Sejatinya, MP3EI
merupakan implementasi dan legalisasi untuk kebijakan koridor ekonomi (economic corridor policy) di Indonesia
(Safitri: 2012). Menurut Ishida (2009: 4), Koridor Ekonomi (KE) adalah sebuah
ruang geografis yang didefinisikan dengan baik untuk menghubungkan dua atau
lebih daerah dengan tingkat pertumbuhan yang berbeda di dalam satu atau
beberapa negara (lintas batas) dengan dihubungkan oleh jaringan infrastruktur
transportasi yang dikembangkan dengan baik. Dua strategi pembangunan dalam kebijakan
ini yaitu pengembangan
sistem konektivitas nasional (lokal dan internasional), dan penguatan kapasitas sumber daya
manusia dan ilmu pengetahuan dan
teknologi nasional. Kebijakan
KE ditujukan untuk menghubungkan daerah pusat
kegiatan ekonomi ke daerah sumber
produksi. Kebijakan KE adalah cara
mengkonsolidasikan sejumlah proyek yang akan berjalan dan pada waktu yang sama membuka peluang
baru untuk proyek-proyek baru melalui pembangunan infrastruktur. Untuk memudahkan proses konsolidasi
kegiatan ekonomi maka dibentuk Kawasan Perhatian Investasi (KPI) yang
diproyeksikan sebagai daerah pusat kegiatan ekonomi. MP3EI membagi wilayah
Indonesia ke dalam enam (6) koridor ekonomi[1]
dengan 8 program utama, yaitu pertanian, pertambangan, energi, industri,
kelautan, pariwisata, dan telematika, serta pengembangan kawasan strategis yang terdiri dari 22 Kegiatan Ekonomi Utama (KEU)[2].
Propinsi Jawa Barat yang berada di Pulau Jawa merupakan bagian dari Koridor
Ekonomi Jawa yang memiliki tema “Pendorong
Industri dan Jasa Nasional”. Di Jawa Barat terdapat delapan (8) KPI prioritas yaitu KPI
Indramayu, KPI Bogor, KPI Karawang, KPI Bekasi, KPI Bandung, KPI Purwakarta,
KPI Cimahi, KPI Majalengka.
Kebijakan KE telah membuka ruang lebih luas bagi
aktivitas ekonomi dengan dukungan dari otoritas pemerintah melalui formulasi kebijakan, yang
sebenarnya dimaksudkan untuk memecahkan sejumlah hambatan dalam investasi yang sebelumnya terjadi sebagai akibat dari kebijakan
desentralisasi. Agar
kebijakan KE dapat berlangsung maka cara untuk mengatasi hambatan-hambatan
terutama regulasi yang ada dengan prinsip “debottlenecking”.
Untuk mengatasi hambatan-hambatan kemacetan dalam proyek-proyek MP3EI,
pemerintah telah meningkatkan masalah-masalah dalam kerangka pengambilan keputusan oleh Presiden. Maka MP3EI sendiri dianggap sebagai alat
untuk prinsip debottlenecking.
Imajinasi yang dibuat adalah semua pihak yang berkepentingan akan berpikir tentang masalah pembangunan
yang lebih luas, daripada berpikir tentang minat atau keinginan untuk meningkatkan kinerja mereka masing-masing. Tetapi alasan utama
masing-masing pihak masih tetap
sedang dalam mengimplementasikan
kerja kolaboratif yang
dikembangkan. Ide utamanya
adalah untuk mewujudkan rencana proyek-proyek
MP3EI sebagai jembatan untuk
jalan
pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan (UKP4)
dengan lugas menyatakan bahwa, “MP3EI policy is a quick and dirty process but
it is a long-lasting and clean output”. (Safitri: 2012)
MP3EI sejak awal telah mengindikasikan sejumlah
peraturan perundang-undangan beserta turunannya yang dianggap menjadi hambatan
bagi berlangsungnya investasi dalam skema kebijakan koridor ekonomi. Dalam Laporan
Perkembangan Pelaksanaan MP3EI telah
secara jelas dinyatakan
bahwa masalah pertanahan baik konflik pertanahan, proses pembebasan, serta
tumpang tindih penggunaan lahan adalah masalah-masalah utama dalam implementasi
MP3EI (Kemenko Ekonomi,
2013: viii-ix). Komite
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (KP3EI) hingga awal 2013 menyatakan
44 peraturan telah selesai dimana kategori regulasi yang telah diselesaikan selain
mengenai pertanahan juga tentang perubahan rencana tata ruang, perubahan fungsi
hutan, pertambangan, kawasan ekonomi khusus (Economic Special Zones), dan pembebasan pajak (tax holiday) (Kemenko Ekonomi, 2013: 68,
69-79) yang
semuanya memberikan kemudahan bagi investasi untuk masuk dan bekerja dalam
skema kebijakan KE.
Jika diperiksa kembali KPI-KPI di Jawa Barat bukan
merupakan wilayah baru bagi kegiatan ekonomi yang hendak dijalankan, setidaknya
telah terdapat kawasan industri serta kegiatan industri yang telah lama
terbangun di wilayah tersebut. Dengan melihat pada KPI Karawang, Kabupaten
Karawang pada akhir 1980’an merupakan daerah awal di Indonesia yang menjadi
tempat pembangunan kawasan Industri di Indonesia (Suryana, 2012:) disusul oleh beberapa
daerah lainnya di Jawa Barat seperti Bekasi dan Purwakarta yang juga menjadi
KPI dalam skema kebijakan KE. Demikian pula dengan KPI Bandung dan KPI Cimahi
yang tanpa adanya Kebijakan KE di kedua wilayah itu telah berkembang industri
telematika, alat utama sistem persenjataan, serta tekstil. Karenanya dapat
dikatakan bahwa implementasi KE di Jawa Barat tidak menciptakan pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi baru dengan inovasi kegiatan ekonomi.
Di sisi lain, kebijakan ini juga mendorong
proyek infrastruktur yang lebih mendukung kepentingan investasi daripada untuk
memberikan pelayanan bagi publik serta menjadikan proyek infrastruktur tersebut
sebagai kegiatan investasi melalui skema Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)/Public-Private Partnership (PPP). Lewat
skema KPS, pemerintah telah mengambil resiko yang seharusnya menjadi bagian
yang ditanggung oleh pihak swasta dalam investasi melalui dana jaminan (guarantee fund) bila terjadi kegagalan
dalam pelaksanaan proyek serta jaminan pengadaan tanah dimana dalam KPS/PPP
pemerintah bertanggungjawab menyediakan tanah untuk proyek-proyek yang akan
dilaksanakan. KP3EI pada awal tahun 2013 telah mengidentifikasi ulang
proyek-proyek MP3EI di Jawa Barat dengan jumlah 15 proyek (KP3EI: 2013). Dari
15 proyek tersebut, jika dilihat pada empat (4) proyek infrastruktur yang
dijalankan terdapat sejumlah regulasi baru yang lahir dari proses “debottlenecking” dalam MP3EI dan
memberikan ancaman yang meningkatkan konsentrasi tanah oleh korporasi atau
kepentingan komersial, memperparah situasi ketimpangan penguasaan lahan,
bertambahnya konflik agraria, meningkatkan laju konversi lahan melalui alih
fungsi lahan pertanian dan hutan, hilangnya mata pencaharian warga lokal serta
bertambahnya jumlah tenaga kerja yang tidak terserap di sektor produktif dan
menurunnya produksi pertanian yang menurunkan kedaulatan pangan di Jawa Barat (lihat
tabel).
Tabel 1
Identifikasi
Regulasi Pendukung & Ancaman pada Empat (4) Proyek MP3EI di Jawa Barat
|
||||
No.
|
Nama Kegiatan
|
KEU-22 &
Status
|
Regulasi Pendukung
|
Ancaman
|
1
|
Pembangunan Konstruksi Pelabuhan
Cilamaya
|
Peralatan
Transportasi; K
|
- UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan
dalam rangka Kepentingan Umum
- Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Tanah untuk Pembangunan dalam rangka Kepentingan Umum
- Perpres No. 28 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali
- Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 5
Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah
- Perda Prov. Jawa
Barat No. 22/2010 Tentang RTRW Jawa Barat
- Perda Kab.
Karawang No. 2/2013 tentang RTRW Kabupaten Karawang
|
-
status kawasan perdesaaan telah dirubah menjadi
kawasan perkotaaan yang memuluskan perubahan fungsi lahan bagi proses
pembangunan kawasan pelabuhan
-
Adanya kebutuhan lahan untuk kawasan pelabuhan
(±5000 Ha) dan infrastruktur
pendukung jalan akses tol dan rel
kereta api sepanjang ±30 km.
-
Multiplier effect kebutuhan lahan
di sekitar kawasan pelabuhan dan infrastruktur pendukungnya
-
Tidak ada peraturan yang melindungi lahan pertanian
di wilayah Karawang
-
Merebaknya spekulasi tanah di lokasi pembangunan
pelabuhan, infrastruktur pendukung, dan sekitarnya yang menyebabkan sengketa
pertanahan dan beralihnya penguasaan tanah dari warga lokal
-
Bertambahnya ketimpangan penguasaan tanah.
-
Hilangnya mata pencaharian warga lokal dari
pertanian.
-
Bertambahnya jumlah tenaga kerja yang tidak terserap
ke sektor produktif
-
Produksi pertanian khususnya komoditas padi berkurang
karena hilangnya lahan pertanian sawah irigasi teknis di kawasan pembangunan
pelabuhan, infrastruktur pendukung dan sekitarnya
|
3
|
Pembangunan
Bandara Kertajati
|
Bandara; K
|
- UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan
dalam rangka Kepentingan Umum
- Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Tanah untuk Pembangunan dalam rangka Kepentingan Umum
- Perpres No. 28 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali
- Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 5
Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah
- Perda Prov. Jawa
Barat No. 22/2010 Tentang RTRW Jawa Barat
|
-
Adanya kebutuhan lahan untuk bandara ±1800 Ha
dan infrastruktur pendukung jalan akses tol dan rel kereta api
-
Multiplier effect kebutuhan lahan
di sekitar kawasan Bandara dan infrastruktur pendukungnya
-
Merebaknya spekulasi tanah di lokasi pembangunan Bandara,
infrastruktur pendukung, dan sekitarnya yang menyebabkan sengketa pertanahan
dan beralihnya penguasaan tanah dari warga lokal
-
Bertambahnya ketimpangan penguasaan tanah
-
Hilangnya mata pencaharian warga lokal dari
pertanian
-
Bertambahnya jumlah tenaga kerja yang tidak terserap
ke sektor produktif
-
Produksi pertanian berkurang karena hilangnya lahan
pertanian di kawasan pembangunan Bandara, infrastruktur pendukung dan
sekitarnya
|
4
|
Pembangunan
Jalan Tol Cikampek-Palimanan
|
Peralatan
Transportasi; K
|
- UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan
dalam rangka Kepentingan Umum
- Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Tanah untuk Pembangunan dalam rangka Kepentingan Umum
- Perpres No. 28 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali
- Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 5
Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah
- Perda Prov. Jawa
Barat No. 22/2010 Tentang RTRW Jawa Barat
|
-
Adanya kebutuhan lahan untuk pembangunan jalan tol
sepanjang 116,75 Km.
-
Multiplier effect kebutuhan lahan
di sekitar jalan tol
-
Merebaknya spekulasi tanah di lokasi pembangunan jalan
tol dan sekitarnya yang menyebabkan sengketa
pertanahan dan beralihnya penguasaan tanah dari warga lokal
-
Bertambahnya ketimpangan penguasaan tanah
-
Hilangnya mata pencaharian warga lokal dari
pertanian
-
Bertambahnya jumlah tenaga kerja yang tidak terserap
ke sektor produktif
-
Produksi pertanian berkurang karena hilangnya lahan
pertanian di kawasan pembangunan jalan tol
|
8
|
Pembangunan
PLTA Rajamandala
|
Energi; H
|
- UU No. 2 Tahun 2012
- PP No.60 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan
Fungsi Kawasan Hutan
- PP No. 61 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan
- Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Tanah untuk Pembangunan dalam rangka Kepentingan Umum
- Perpres No. 28 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali
- Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 5
Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah
- Perda Prov. Jawa
Barat No. 22/2010 Tentang RTRW Jawa Barat
-
|
-
Adanya kebutuhan
lahan untuk pembangunan PLTA seluas
841,35 Ha.
-
Alih fungsi kawasan hutan untuk kebutuhan lahan PLTA
-
Merebaknya spekulasi tanah di lokasi pembangunan PLTA
dan sekitarnya yang menyebabkan sengketa pertanahan dan beralihnya penguasaan
tanah dari warga lokal
-
Bertambahnya ketimpangan penguasaan tanah
-
Hilangnya mata pencaharian warga lokal dari sektor pertanian
-
Bertambahnya jumlah tenaga kerja yang tidak terserap
ke sektor produktif
-
Produksi pertanian menurun karena hilangnya lahan pertanian
di kawasan pembangunan PLTA dan infrastruktur pendukungnya
|
|
Dari seluruh
paparan sebelumnya di atas, terdapat beberapa simpulan tentang
kecenderungan dan potensi perampasan tanah (landgrabbing) pada pelaksanaan MP3EI. Untuk penataan ruang di
tingkat lokal dan nasional, MP3EI telah nyata diterjemahkan menjadi kebijakan penataan ruang dan
pengalokasian tanah serta investasi dalam rangka menyediakan jalan baru
neoliberal untuk pendalaman eksploitasi (: komodifikasi ruang dan semua
komponen yang ada di dalamnya /commodify of space and all of its within
components) (Bachriadi: 2012). Berlangsungnya
MP3EI akan meningkatkan konsentrasi penguasaan tanah skala besar oleh pengusaha
atau untuk kepentingan komersial. Perluasan dan peningkatan eskalasi konflik
agraria akan terjadi seiring dengan meningkatnya alokasi dan kebutuhan akan
tanah untuk pelaksanaan proyek-proyek yang menjadi prioritas dalam MP3EI. Berdasarkan temuan awal ARC
(2012) terdapat beberapa kesimpulan awal mengenai MP3EI, pertama Modus kegiatan produksi skala besar itu akan membawa
akibat Integrasi-negatif (subordinasi) kegiatan ekonomi rakyat, termasuk
pertanian rakyat dalam mata-rantai produksi dan distribusi skala besar (: integrasi vertikal ekonomi rakyat dalam mata-rantai
produksi dan distribusi skala besar). Pengutamaan pada modus produksi skala
besar, hanya akan menjadikan MP3EI sebagai sarana memaksimalkan pengurasan
sumber agraria dan kekayaan alam di Indonesia dan khususnya di Jawa Barat untuk kepentingan komersial (korporat bisnis). Kedua, Lebih jauh lagi, MP3EI juga menyimpan (potensi)
ancaman terjadinya proletarisasi, terutama di pedesaan. Yang dimaksud
proletarisasi disini adalah MP3EI—dengan prioritas pada produksi skala besar,
membawa akibat melemahnya kegiatan ekonomi rakyat yang tentu saja menyebabkan
berlebihnya tenaga kerja (surplus labour)
yang tidak terserap kedalam sektor produktif karena hilangnya akses terhadap
sumber agraria.
[1] Enam (6) koridor tersebut adalah Koridor Sumatra, Jawa, kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Maluku-Papua
[2] 22 Kegiatan ekonomi utama dalam MP3EI adalah besi baja, makanan minuman, tekstil, peralatan transportasi, perkapalan, nikel, tembaga, bauksit, kelapa sawit, karet, pertanian pangan, pariwisata, telematika, batubara, migas, Jabodetabek area, KSN Selat Sunda, alutsista, Peternakan, Perkayuan, Kakao dan Perikanan.
No comments:
Post a Comment