Tuesday 19 November 2013

Ancaman Kebijakan Baru dari Pelaksanaan MP3EI Bagi Petani dan Pertanian di Jawa Barat

Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 32/2011 tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) menandai babak baru bagi pembangunan ekonomi pasca reformasi di Indonesia. Sejatinya, MP3EI merupakan implementasi dan legalisasi untuk kebijakan koridor ekonomi (economic corridor policy) di Indonesia (Safitri: 2012). Menurut Ishida (2009: 4), Koridor Ekonomi (KE) adalah sebuah ruang geografis yang didefinisikan dengan baik untuk menghubungkan dua atau lebih daerah dengan tingkat pertumbuhan yang berbeda di dalam satu atau beberapa negara (lintas batas) dengan dihubungkan oleh jaringan infrastruktur transportasi yang dikembangkan dengan baik. Dua strategi pembangunan dalam kebijakan ini yaitu pengembangan sistem konektivitas nasional (lokal dan internasional), dan penguatan kapasitas sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional. Kebijakan KE ditujukan untuk menghubungkan daerah pusat kegiatan ekonomi ke daerah sumber produksi. Kebijakan KE adalah cara mengkonsolidasikan sejumlah proyek yang akan berjalan dan pada waktu yang sama membuka peluang baru untuk proyek-proyek baru melalui pembangunan infrastruktur. Untuk memudahkan proses konsolidasi kegiatan ekonomi maka dibentuk Kawasan Perhatian Investasi (KPI) yang diproyeksikan sebagai daerah pusat kegiatan ekonomi. MP3EI membagi wilayah Indonesia ke dalam enam (6) koridor ekonomi[1] dengan 8 program utama, yaitu pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, dan telematika, serta pengembangan kawasan strategis yang terdiri dari 22 Kegiatan Ekonomi Utama (KEU)[2]. Propinsi Jawa Barat yang berada di Pulau Jawa merupakan bagian dari Koridor Ekonomi Jawa yang memiliki tema “Pendorong Industri dan Jasa Nasional. Di Jawa Barat terdapat delapan (8) KPI prioritas yaitu KPI Indramayu, KPI Bogor, KPI Karawang, KPI Bekasi, KPI Bandung, KPI Purwakarta, KPI Cimahi, KPI Majalengka.

Kebijakan KE telah membuka ruang lebih luas bagi aktivitas ekonomi dengan dukungan dari otoritas pemerintah melalui formulasi kebijakan, yang sebenarnya dimaksudkan untuk memecahkan sejumlah hambatan dalam investasi yang sebelumnya terjadi sebagai akibat dari kebijakan desentralisasi. Agar kebijakan KE dapat berlangsung maka cara untuk mengatasi hambatan-hambatan terutama regulasi yang ada dengan prinsip “debottlenecking”. Untuk mengatasi hambatan-hambatan kemacetan dalam proyek-proyek MP3EI, pemerintah telah meningkatkan masalah-masalah dalam kerangka pengambilan keputusan oleh Presiden. Maka MP3EI sendiri dianggap sebagai alat untuk prinsip debottlenecking. Imajinasi yang dibuat adalah semua pihak yang berkepentingan akan berpikir tentang masalah pembangunan yang lebih luas, daripada berpikir tentang minat atau keinginan untuk meningkatkan kinerja mereka masing-masing. Tetapi alasan utama masing-masing pihak masih tetap sedang dalam mengimplementasikan kerja kolaboratif yang dikembangkan. Ide utamanya adalah untuk mewujudkan rencana proyek-proyek MP3EI sebagai jembatan untuk jalan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dengan lugas menyatakan bahwa, “MP3EI policy is a quick and dirty process but it is a long-lasting and clean output”. (Safitri: 2012)

MP3EI sejak awal telah mengindikasikan sejumlah peraturan perundang-undangan beserta turunannya yang dianggap menjadi hambatan bagi berlangsungnya investasi dalam skema kebijakan koridor ekonomi. Dalam Laporan Perkembangan Pelaksanaan MP3EI telah secara jelas dinyatakan bahwa masalah pertanahan baik konflik pertanahan, proses pembebasan, serta tumpang tindih penggunaan lahan adalah masalah-masalah utama dalam implementasi MP3EI (Kemenko Ekonomi, 2013: viii-ix). Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (KP3EI) hingga awal 2013 menyatakan 44 peraturan telah selesai dimana kategori regulasi yang telah diselesaikan selain mengenai pertanahan juga tentang perubahan rencana tata ruang, perubahan fungsi hutan, pertambangan, kawasan ekonomi khusus (Economic Special Zones), dan pembebasan pajak (tax holiday) (Kemenko Ekonomi, 2013: 68, 69-79) yang semuanya memberikan kemudahan bagi investasi untuk masuk dan bekerja dalam skema kebijakan  KE.

Jika diperiksa kembali KPI-KPI di Jawa Barat bukan merupakan wilayah baru bagi kegiatan ekonomi yang hendak dijalankan, setidaknya telah terdapat kawasan industri serta kegiatan industri yang telah lama terbangun di wilayah tersebut. Dengan melihat pada KPI Karawang, Kabupaten Karawang pada akhir 1980’an merupakan daerah awal di Indonesia yang menjadi tempat pembangunan kawasan Industri di Indonesia (Suryana, 2012:) disusul oleh beberapa daerah lainnya di Jawa Barat seperti Bekasi dan Purwakarta yang juga menjadi KPI dalam skema kebijakan KE. Demikian pula dengan KPI Bandung dan KPI Cimahi yang tanpa adanya Kebijakan KE di kedua wilayah itu telah berkembang industri telematika, alat utama sistem persenjataan, serta tekstil. Karenanya dapat dikatakan bahwa implementasi KE di Jawa Barat tidak menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru dengan inovasi kegiatan ekonomi.

Di sisi lain, kebijakan ini juga mendorong proyek infrastruktur yang lebih mendukung kepentingan investasi daripada untuk memberikan pelayanan bagi publik serta menjadikan proyek infrastruktur tersebut sebagai kegiatan investasi melalui skema Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)/Public-Private Partnership (PPP). Lewat skema KPS, pemerintah telah mengambil resiko yang seharusnya menjadi bagian yang ditanggung oleh pihak swasta dalam investasi melalui dana jaminan (guarantee fund) bila terjadi kegagalan dalam pelaksanaan proyek serta jaminan pengadaan tanah dimana dalam KPS/PPP pemerintah bertanggungjawab menyediakan tanah untuk proyek-proyek yang akan dilaksanakan. KP3EI pada awal tahun 2013 telah mengidentifikasi ulang proyek-proyek MP3EI di Jawa Barat dengan jumlah 15 proyek (KP3EI: 2013). Dari 15 proyek tersebut, jika dilihat pada empat (4) proyek infrastruktur yang dijalankan terdapat sejumlah regulasi baru yang lahir dari proses “debottlenecking” dalam MP3EI dan memberikan ancaman yang meningkatkan konsentrasi tanah oleh korporasi atau kepentingan komersial, memperparah situasi ketimpangan penguasaan lahan, bertambahnya konflik agraria, meningkatkan laju konversi lahan melalui alih fungsi lahan pertanian dan hutan, hilangnya mata pencaharian warga lokal serta bertambahnya jumlah tenaga kerja yang tidak terserap di sektor produktif dan menurunnya produksi pertanian yang menurunkan kedaulatan pangan di Jawa Barat (lihat tabel).

Tabel 1
Identifikasi Regulasi Pendukung & Ancaman pada Empat (4) Proyek MP3EI di Jawa Barat
No.
Nama Kegiatan
KEU-22 & Status
Regulasi Pendukung
Ancaman
1
Pembangunan Konstruksi Pelabuhan Cilamaya
Peralatan Transportasi; K
-     UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan dalam rangka Kepentingan Umum
-     Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah untuk Pembangunan dalam rangka Kepentingan Umum
-     Perpres No. 28 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali
-     Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah
-     Perda Prov. Jawa Barat No. 22/2010 Tentang RTRW Jawa Barat
-     Perda Kab. Karawang No. 2/2013 tentang RTRW Kabupaten Karawang
-        status kawasan perdesaaan telah dirubah menjadi kawasan perkotaaan yang memuluskan perubahan fungsi lahan bagi proses pembangunan kawasan pelabuhan
-        Adanya kebutuhan lahan untuk kawasan pelabuhan (±5000 Ha) dan  infrastruktur pendukung  jalan akses tol dan rel kereta api sepanjang ±30 km.
-        Multiplier effect kebutuhan lahan di sekitar kawasan pelabuhan dan infrastruktur pendukungnya
-        Tidak ada peraturan yang melindungi lahan pertanian di wilayah Karawang
-        Merebaknya spekulasi tanah di lokasi pembangunan pelabuhan, infrastruktur pendukung, dan sekitarnya yang menyebabkan sengketa pertanahan dan beralihnya penguasaan tanah dari warga lokal
-        Bertambahnya ketimpangan penguasaan tanah.
-        Hilangnya mata pencaharian warga lokal dari pertanian.
-        Bertambahnya jumlah tenaga kerja yang tidak terserap ke sektor produktif
-        Produksi pertanian khususnya komoditas padi berkurang karena hilangnya lahan pertanian sawah irigasi teknis di kawasan pembangunan pelabuhan, infrastruktur pendukung dan sekitarnya
3
Pembangunan Bandara Kertajati
Bandara; K
-     UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan dalam rangka Kepentingan Umum
-     Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah untuk Pembangunan dalam rangka Kepentingan Umum
-     Perpres No. 28 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali
-     Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah
-     Perda Prov. Jawa Barat No. 22/2010 Tentang RTRW Jawa Barat

-        Adanya kebutuhan lahan untuk bandara ±1800 Ha dan  infrastruktur pendukung  jalan akses tol dan rel kereta api
-        Multiplier effect kebutuhan lahan di sekitar kawasan Bandara dan infrastruktur pendukungnya
-        Merebaknya spekulasi tanah di lokasi pembangunan Bandara, infrastruktur pendukung, dan sekitarnya yang menyebabkan sengketa pertanahan dan beralihnya penguasaan tanah dari warga lokal
-        Bertambahnya ketimpangan penguasaan tanah
-        Hilangnya mata pencaharian warga lokal dari pertanian
-        Bertambahnya jumlah tenaga kerja yang tidak terserap ke sektor produktif
-        Produksi pertanian berkurang karena hilangnya lahan pertanian di kawasan pembangunan Bandara, infrastruktur pendukung dan sekitarnya
4
Pembangunan Jalan Tol Cikampek-Palimanan
Peralatan Transportasi; K
-     UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan dalam rangka Kepentingan Umum
-     Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah untuk Pembangunan dalam rangka Kepentingan Umum
-     Perpres No. 28 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali
-     Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah
-     Perda Prov. Jawa Barat No. 22/2010 Tentang RTRW Jawa Barat

-        Adanya kebutuhan lahan untuk pembangunan jalan tol sepanjang 116,75 Km.
-        Multiplier effect kebutuhan lahan di sekitar jalan tol
-        Merebaknya spekulasi tanah di lokasi pembangunan jalan tol  dan sekitarnya yang menyebabkan sengketa pertanahan dan beralihnya penguasaan tanah dari warga lokal
-        Bertambahnya ketimpangan penguasaan tanah
-        Hilangnya mata pencaharian warga lokal dari pertanian
-        Bertambahnya jumlah tenaga kerja yang tidak terserap ke sektor produktif
-        Produksi pertanian berkurang karena hilangnya lahan pertanian di kawasan pembangunan jalan tol
8
Pembangunan PLTA Rajamandala
Energi; H
-     UU No. 2 Tahun 2012
-     PP No.60 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
-     PP No. 61 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan
-     Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah untuk Pembangunan dalam rangka Kepentingan Umum
-     Perpres No. 28 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali
-     Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah
-     Perda Prov. Jawa Barat No. 22/2010 Tentang RTRW Jawa Barat
-      
-        Adanya  kebutuhan lahan untuk pembangunan  PLTA seluas 841,35 Ha.
-        Alih fungsi kawasan hutan untuk kebutuhan lahan PLTA
-        Merebaknya spekulasi tanah di lokasi pembangunan PLTA dan sekitarnya yang menyebabkan sengketa pertanahan dan beralihnya penguasaan tanah dari warga lokal
-        Bertambahnya ketimpangan penguasaan tanah
-        Hilangnya mata pencaharian warga lokal dari sektor pertanian
-        Bertambahnya jumlah tenaga kerja yang tidak terserap ke sektor produktif
-        Produksi pertanian menurun karena hilangnya lahan pertanian di kawasan pembangunan PLTA dan infrastruktur pendukungnya

Sumber: diolah oleh ARC dengan bahan dari Kemenko Ekonomi 2013, www.kp3ei.go.id



Dari seluruh paparan sebelumnya di atas, terdapat beberapa simpulan tentang kecenderungan dan potensi perampasan tanah (landgrabbing) pada pelaksanaan MP3EI. Untuk penataan ruang di tingkat lokal dan nasional, MP3EI telah nyata diterjemahkan menjadi kebijakan penataan ruang dan pengalokasian tanah serta investasi dalam rangka menyediakan jalan baru neoliberal untuk pendalaman eksploitasi (: komodifikasi ruang dan semua komponen yang ada di dalamnya /commodify of space and all of its within components) (Bachriadi: 2012). Berlangsungnya MP3EI akan meningkatkan konsentrasi penguasaan tanah skala besar oleh pengusaha atau untuk kepentingan komersial. Perluasan dan peningkatan eskalasi konflik agraria akan terjadi seiring dengan meningkatnya alokasi dan kebutuhan akan tanah untuk pelaksanaan proyek-proyek yang menjadi prioritas dalam MP3EI. Berdasarkan temuan awal ARC (2012) terdapat beberapa kesimpulan awal mengenai MP3EI, pertama Modus kegiatan produksi skala besar itu akan membawa akibat Integrasi-negatif (subordinasi) kegiatan ekonomi rakyat, termasuk pertanian rakyat dalam mata-rantai produksi dan distribusi skala besar (: integrasi vertikal ekonomi rakyat dalam mata-rantai produksi dan distribusi skala besar). Pengutamaan pada modus produksi skala besar, hanya akan menjadikan MP3EI sebagai sarana memaksimalkan pengurasan sumber agraria dan kekayaan alam di Indonesia dan khususnya di Jawa Barat untuk kepentingan komersial (korporat bisnis). Kedua, Lebih jauh lagi, MP3EI juga menyimpan (potensi) ancaman terjadinya proletarisasi, terutama di pedesaan. Yang dimaksud proletarisasi disini adalah MP3EI—dengan prioritas pada produksi skala besar, membawa akibat melemahnya kegiatan ekonomi rakyat yang tentu saja menyebabkan berlebihnya tenaga kerja (surplus labour) yang tidak terserap kedalam sektor produktif karena hilangnya akses terhadap sumber agraria.




[1] Enam (6) koridor tersebut adalah Koridor Sumatra, Jawa, kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Maluku-Papua
[2] 22 Kegiatan ekonomi utama dalam MP3EI adalah besi baja, makanan minuman, tekstil, peralatan transportasi, perkapalan, nikel, tembaga, bauksit, kelapa sawit, karet, pertanian pangan, pariwisata, telematika, batubara, migas, Jabodetabek area, KSN Selat Sunda, alutsista, Peternakan, Perkayuan, Kakao dan Perikanan.

No comments:

Post a Comment